FIQIH HAJI DAN NGAJI QURBAN BERSAMA KH ARIFIN FANANI KUDUS
FIQIH –
Menjelang musim haji dan idul qurban 2016, tim redaksi SantriMenara.Com
yang terdiri atas Nur Said, Arif Mustain, Azwar Anas, Ahmad Irham, Abdullah
Hamid dan Abdullah Badri, sowan kepada Dewan Masyayikh, KH Arifin Fanani,
Pengasuh Pesantren Ma’had Ulumis Syar’iyyah Yanbu’ul Qur’an (MUS-YQ), Kwanaran,
Kudus pada Sabtu (13/08/2016) malam.
Ada banyak hal yang dibahas terkait hukum fiqih
bab haji dan qurban serta dinamika kekinian yang jamak terjadi, namun tidak
banyak yang tahu dasar ilmu dan rujukan kitab salafnya. Karena ini sifatnya
obrolan, maka reportase redaksi tidak dibarengi dengan dalil teks dari kitab.
Selain itu, kiai lulusan Pesantren MUS Sarang
Rembang ini juga sudah teruji dan masyhur di Kudus sebagai pakar Ilmu Fiqih
paling diataati dawuh-dawuhnya. Jika ingin meminta rujukan teks fiqih Arab,
silakan sowan langsung ke beliau. Santri menara siap mengantarkan. Berikut
hasil obrolan kami:
Haji yang mambur (diterima oleh Allah) adalah haji yang
tidak dikotori oleh dosa, “walau
shoghirotan wa in taba halan/ meskipun dosanya kecil dan langsung
ditobati,” ujar Kiai Arifin. Karena itulah, lanjutnya, laisa
lahu jazaan illal jannah (tidak
ada balasan lain kecuali surga).
Bebas dari dosa itu sulit ketika kita sedang
melaksanakan haji. Bahkan ada yang tidak merasa bahwa apa yang dilakukan di
sana tergolong perbuatan maksiat. Misal ada orang haji kebelet melakukan jima’ (hubungan suami istri) setelah tahallul awwal (mencukur minimal 3 helai
rambut yang pertama kali) sebelum melaksanakan tahallul tsani (yang kedua).
Secara hukum fiqih, haji orang haji orang di
atas tetap sah namun berkewajiban membayar dam (denda) berupa seekor kambing.
Ada yang salah menyebut kalau dam jima’ baina tahllulaini (dua tahallul) itu adalah sapi.
“Kumpul baina tahallulaini itu kan dam-nya kambing dan tidak batal hajinya.
Cuma kalau mabrur ya sulit,” kata Kiai Arifin.
Dalam kitab Ad Din wal Haj karya Syaikh Abbas Karoroh diterangkan
jika ada orang berhaji lewat pesawat udara lalu mengambil miqat (batas
dimulainya ibadah haji) di Jeddah, itu dosa. Sekalipun dia bisa membayar dam,
namun dam tidak bisa menghilangkan dosa tersebut. Jamaah haji Indonesia,
miqotnya di Bir Ali Madinah (Madinah dulu). Gelombang ke 2 (langsung Makkah),
miqotnya di atas pesawat.
“Jadi jangan menganggap diri dumeh punya uang banyak bisa seenaknya
membayar dam untuk tebusan dosa,” terang Kiai Arifin. Dalam kitab tersebut,
paparnya, juga diterangkan bahwa minum zam zam disunnahkan dengan cara berdiri
walaupun di kitab-kitab fiqih yang ada disebutkan sunahnya meminum air zam-zam
dengan cara duduk, “wa yusannu syurbu zam zam qaiman/
disunnahkan meminum air zam-zam dengan berdiri,” teksnya begitu.
“Saya pernah melakukan itu ketika haji di
Makkah. Diingatkan oleh orang Makkah yang wajahnya bersinar. Saya keluarkan
pendapat dan mengatakan padanya “inda
Syeikh Abbas Karoroh, yusannu qoiman”. Dijawab “shadaqta/ engkau benar”. Tapi orang
tersebut hilang setelah itu,” cerita Kiai Arifin dalam bahasa Jawa.
“Jadi kalau saya, untuk keluar dari khilaf (khuruj minal khilaf), kadang-kadang
berdiri kadang juga duduk. Tapi semua ada dasarnya,” tambahnya.
Soal kredit haji atau umroh yang marak
akhir-akhir ini, Kiai Arifin menyatakan sah. Kalimat man istatha’a
ilaihi sabila (haji
itu wajib bagi mereka yang mampu) sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Ali Imron
ayat 97 itu objeknya adalah orang yang terbebani kewajiban haji.
“Walau tidak mampu, jika naik haji dan dia
sampai ke Makkah, ya tetap sah. Misalnya seperti orang meninggal yang dihajikan
orang lain, itu sah walau pada hakikatnya dia tidak istitha’ karena sudah
meninggal,” papar Kiai Arifin.
Penggunaan paspor illegal untuk berhaji, bagi
kiai Arifin, tetap sah hajinya dan insyaallah tidak dosa. Gampangnya begini,
“pokoknya dia sampai Makkah, haji, khususnya wukuf, itu sudah sah, sekalipun
pakai uang curian,” lanjutnya. Soal mabrur atau tidak, tanyakan kepada hati
nurani.
Bandar togel sekeluarga itu pun sah jika mereka
bareng-bareng melaksanakan ibadah haji, dan sudah gugur kewajibannya. “Cuma
hajinya mabrur atau mabur, itu yang jadi soal,” terang guru fiqih Madrasah TBS
Kudus ini.
Fiqih Qurban
Soal qurban, Kiai Arifin mengingatkan agar
ketika hendak membeli hewan sembelihan hendaknya mengajak orang yang lebih
paham dan ahli mendeteksi usianya. Karena dalam fiqih, syarat hewan yang
diqurbankan adalah 1 tahun (kambing domba), 2 tahun (kambing kerikil, kambing
jowo, kambing kacang, kerbau atau sapi) dan 5 tahun (onta).
Walau tidak semua bakul melakukan kecurangan,
ketika musim panen, ada sebagian dari mereka yang nakal memberikan ragi ke
gigi-gigi hewan ternaknya agar cepat rompal (putus/ terpotong) sehingga
dianggap powel (berumur cukup untuk qurban). Menurutnya, rompalnya gigi hewan
agar disebut memenuhi standar berqurban itu tidak cukup hanya satu gigi.
Secara fisik, Kiai Arifin tidak bisa memberikan
tanda pasti soal umur hewan qurban itu, “sulit karena kerbau, sapi, kambing,
tidak ada sertifikat akta kelahirannya,” jawabnya disambut tawa santri menara.
Begitu pun, usia hewan tidak bisa dilihat dari
besar kecilnya tubuh binatang. Sekalipun kecil, kalau sudah powel, sah dibuat
qurban. Contoh adalah kambing jowo. Meskipun kecil, dia bisa jadi sudah berusia
2 tahun. Begitu pula kambing domba, walau besar tubuhnya, kadang belum mencapai
syarat minimal satu tahun.
Semua permasalahan itu sebetulnya adalah tanggungjawab
panitia qurban. Karena itulah panitia harus sembodo (tahu aturan main syariat fiqih).
Misalnya di menara Kudus, ketika menyembelih, panitia selalu didampingi oleh
para kiai agar cara menyembelihnya sesuai aturan fiqih.
Kurang beberapa hari sebelum pelaksanaan,
biasanya seorang mudlahhi (yang melaksanakan qurban) akan
dihubungi panitia jika hewan yang digunakan berqurban itu dianggap kurang
memenuhi syarat atau meragukan. Kepada siapa daging qurban dibagikan pun, ada
aturannya.
Kulit qurban misalnya, secara fiqih, itu tidak
boleh dijual dan juga tidak boleh digunakan sebagai upah untuk pelaksana. Namun
yang lazim terjadi adalah ketika seseorang mendapatkan kulit binatang,
kebanyakan langsung dijual. Di menara Kudus, kulit hewan qurban diberikan kepada
faqir miskin yang muslim.
Dalam syariat fiqih, orang miskin dan faqir
boleh menjual kulit binatang qurban. Ini berbeda hukum dengan orang kaya muslim
yang menerimanya. Walaupun menerima, orang kaya tidak boleh menjual. Pasalnya,
pembagian qurban bagi orang kaya itu sifatnya dliyafah (hidangan), bukan lit
tamlik (kepemilikan
utuh), sebagaimana orang miskin dan faqir.
Karena itulah, di Menara Kudus, panitia punya
data siapa saja yang nantinya akan menerima kulit qurban. Oleh panitia, mereka
dikirimi surat dan diomongi, “anda dapat bagian kulit kambing, anda ambil, anda
rawat sendiri atau mau dijual? Kalau mau dijual, akan dijual sendiri atau
diwakilkan panitia,” demikian kurang lebih.
Namun, kata Kiai Arifin, rata-rata dari mereka
memilih diwakilkan penjualannya kepada panitia karena kalau dijual sendiri
harga akan dibanting tengkulak. Ada yang menakuti mereka, “kalau kamu tidak
jual ke saya, besok sore sudah busuk kulitnya,” akhirnya harga dibuat semurah
mungkin karena kuatir tidak laku setelah membusuk.
Di sinilah pentingnya panitia memberikan
petunjuk kepada yang akan menerima kulit qurban. Sayangnya, masih ada saja
sebagian orang yang menyebut kalau kulit binatang qurban yang dikelola oleh
Menara Kudus dijual panitia, “padahal panitia mewakili yang berhak menerima
kulit binatang qurban. Mereka tidak bertanya tapi sudah menyimpulkan,” imbuh
Kiai Arifin.
Soal qurban nadzar, dagingnya tidak boleh
diberikan kepada muslim yang aghniya’ (kaya). Pelunasan segala amal sedekah
wajib semacam nadzar dan dam (dalam haji) harus diberikan kepada
fuqoro’, tidak boleh dibagikan kepada orang kaya.
“Jika mengingatkan, acapkali dianggap melawan
arus karena orang yang tahu fiqih tidak lebih banyak dari yang tidak tahu,”
tandas Kiai Arifin mengenai orang kaya yang mau menerima daging dam wajib itu.
Aturan fiqih juga menyebutkan jika keluarga
orang yang nadzar beserta orang-orang yang ditanggung nafaqoh olehnya, tidak
boleh ikut mengonsumsi daging nadzar tersebut.
Untuk aqiqah, ada kesunnahan membagikan daging
dalam keadaan matang (dimasak) serta manis masakannya. Tapi tetap sah jika
daging aqiqah yang dibagikan itu mentah semua.
Dinamika Qurban
Kasus terjadi, sebuah kumpulan keluarga
mengadakan sumbangan dengan tujuan qurban. Mereka menabung setiap bulan, jika
sudah mencukupi, dananya digunakan untuk membeli hewan qurban. Tabungan itu
sifatnya individu. Artinya, tiap orang menabung hanya untuk dirinya sendiri,
bukan berkelompok. Tiap anggota dipastikan kebagian jatah berkurban jika
tabungannya cukup.
Kiai Arifin mengatakan, cara qurban di atas
bukan bagian dari nadzar. Qurban berubah wajib jadi nadzar jika diucapkan
dengan lafadl (perkataan). Niat saja tidak cukup disebut nadzar karena belum
ada bukti ikrar secara lisan. Dalam menyatakan nadzar, orang tidak harus
menggunakan kata nadzar atau aku bernadzar, “yang penting di sana ada kalimat iltizam
alal Allah, menyanggupi atas nama Allah, bisa disebut nadzar,”
jelasnya.
Contoh nadzar misalnya mengatakan falillahi
alayya an atashoddaqo/ aku niat sedekah wajib karena Allah, atau falillahi
alayya an usholliya/ karena Allah saya wajibkan diri untuk sholat.
Pada dua susunan kalimat tersebut tidak disebut kata nadzar, tapi sah dibuat
sebagai nadzar.
Ini berbeda dengan kasus perkataan “ini
kambingku” untuk menjawab pertanyaan orang lain “ini kambing untuk apa”. Bentuk
kalimat tersebut masih diperdebatkan masuk jenis nadzar atau tidak. Ada yang
menyebutnya ja’lu (pernyataan kepemilikan individu), ada juga yang menyebutnya
nadzar. Keterangan itu bisa dilihat dalam Kitab al-Bajuri,
I’anatuth Thalibinmaupun Bughyatul Musytarsyidin. Menurut
Ain Syin (Ali Syibromalisi), itu bukan termasuk nadzar. Sebab itu kalimat
lumrah yang biasa terjadi di masyarakat.
Jika Anda dari pasar membawa kambing, lalu
ditanya orang di tengah jalan, “itu kambing untuk apa kang?”, jika Anda jawab
kalau hewan itu “untuk qurban sunnah”, maka Anda selamat dari perdebatan ulama.
Sebab ada ulama yang mengatakan jika hanya menjawab “untuk qurban”, ada ulama
yang menyebut sudah jadi nadzar Qurban.
“Yang paling selamat lagi kalau ada orang yang
bertanya kambing itu untuk apa? Lalu dijawab; pengen tahu aja atau pengen tahu
banget? Itu selamat dari khilaf,” Santri menara tertawa mendengar penjelasan
Kiai Arifin.
Sah juga misalnya ada 7 orang sepakat
bergantian menerima jatah hewan qurban setiap tahun walau uang yang digunakan
untuk membeli hewan tersebut adalah gabungan dari puluhan orang, “itu sah
karena sudah menjadi milik kita, sama seperti arisan,” jawab kiai Arifin.
Lalu bagaimana jika satu hewan qurban digunakan
untuk kepentingan beragam. “Itu tidak apa-apa,” jawab Kiai Arifin, “tapi
semuanya harus diberikan kepada muslim,” lanjutnya.
Terjadi masalah jika ada yang qurban nadzar dan
qurban sunnah dalam kasus pencampuran niat di atas. Misalnya, si A berniat
melaksanakan qurban sunnah, si B untuk qurban nadzar, si C melaksanakan aqiqah
sunnah, si D berniat aqiqah nadzar, sementara si D hanya ingin mayoran dan
seterusnya, maka untuk mempermudah distribusi daging qurban, caranya harus ada
pembagian sepertujuh per niat masing-masing.
Bagi yang beraqiqah, jika daging yang dibagikan
itu nantinya mentah semua, tetap sah. Cuma yang paling baik jika dibagikan
dalam kondisi matang. Sebagaimana qurban juga lebih baik jika dagingnya
dibagikan dalam kondisi mentah. Justru jika daging qurban dibagikan semuanya
dalam kondisi matang, jadi tidak sah. Harus ada sebagian dari daging qurban itu
yang mentahan.
Dan ingat, hewan yang diniatkan qurban harus
miliknya sendiri. Pernah kejadian lucu ketika Kiai Arifin ditanya seorang
pejabat via telpon. Ketika itu ia menerima sumbangan dua ekor kerbau dari
sebuah pabrik rokok, “daripada dipotong kok eman, bagaimana kalau panitia
meniatkan saja jadi hewan qurban?” Kiai Arifin hanya menjawab, “lha iku kebone
sopoo kang kok angger mbok niati,” santri menara tertawa mendengar cerita itu.
Kiai Arifin menjelaskan jika pabrik rokok
tersebut memberikan sumbangan, lalu diterimakan kepada kita misalnya, itu baru
bisa diniatkan jadi qurban.
Demikan laporan kami dari hasil ngobrol fiqih
tim SantriMenara.Com kepada Masyayikh kami, KH Arifin Fanani. Jika Anda ingin
mendapatkan jawaban atas masalah fiqih lainnya, silakan kontak Redaksi
SantriMenara.Com. Tim kami akan membantu menjawab dan melaporkan dalam bentuk
laporan teks. Untuk video dan audio, kami belum melayani. (smc-212)
0 komentar: